"Selamat Datang di Merdekanian's Blog : Merdeka Belajar bersama Ibu Deka Andriani"

Kamis, 25 November 2010

Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

dari : Liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta: Sosok ini tidak pelit memberi ilmu. Tidak pula mereka banyak menuntut. Senang bila anak didiknya berhasil. Bekal yang diberikan pun besar manfaatnya sampai sekarang. Dan mereka pun menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa sebagai bentuk penghormatan.

Mereka yang dimaksud adalah guru. Dan hari ini, Kamis (25/11), bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional 2010. Sebuah hari yang istimewa bagi jutaan guru di Indonesia. Hari Guru Nasional diperingati bersama hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Sosok guru juga dihormati di negeri tetangga dan benua lain. Di Hongkong hari guru diperingati setiap 10 September, Korea Selatan setiap 15 Mei, Malaysia pada 16 Mei, lalu Cina diperingati setiap 10 September. Pemerintah Australia bahkan menetapkan Jumat terakhir pada Oktober sebagai Hari Guru Sedunia, Amerika Serikat misalnya pada minggu pertama di bulan Mei.

Jasa-jasa guru mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat menghadiri Hari Guru Nasional pada 2004 silam, Presiden Yudhoyono mulai reformasi keberadaan guru, yakni dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai tenaga profesional.

Dengan demikian guru mengemban tanggung jawab untuk mencapai kemajuan pendidikan. Sejalan dengan proses tersebut tak jarang mereka menemui banyak kesulitan. Di antaranya gaji yang disunat, rendahnya upah guru, dan kecilnya peluang jenjang karier. Namun semua itu tak mengurangi motivasi mengajar. Semangat itu ditunjukkan para guru di desa-desa terpencil. Mereka tulus berbagi ilmu di tengah keterbatasan yang ada.

Demikianlah jasa guru. Jasa mereka amat besar. Begitu pula pengaruh para guru mendidik dan membimbing murid. Teruslah kau berjuang guru, agar tercipta peserta didik yang berilmu tinggi, berakhlak mulia dan mencetak pemimpin yang mampu membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.(AIS/ANS)

Jumat, 22 Oktober 2010

Mendidik dengan Kasih Sayang

Ery Suprapti, SPd(Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Muhammadiyah Cileungsi, Bogor)Guru, merupakan orang tua kedua bagi seorang anak setelah ayah dan bundanya di rumah. Terkadang, apa yang tak ada pada orang tua bisa didapatkan sang anak pada gurunya di sekolah.Bahkan, tak jarang tingkat kepercayaan anak terhadap apa yang disampaikan gurunya lebih tinggi dibandingkan apa yang disampaikan orang tuanya. Walaupun, orang tuanya sendiri adalah seorang guru. Tak menutup kemungkinan pula, guru bisa menjadi sosok menakutkan dan menyeramkan. Ini terjadi jika ada jarak membentang antara guru dan murid. Jarak ini, bisa tercipta disebabkan oleh guru. Sering muncul istilah guru ‘jaim’ (jaga imej) atau ‘jawi’ (jaga wibawa). Di sisi lain, bisa saja siswa yang menciptakan jarak tersebut dengan sikap dan perilakunya. Seperti tak disiplin ataupun malas belajar.Bagi seorang guru, tentu jarak ini harus bisa dijembatani. Dengan demikian, hubungan guru dan murid lebih baik dan proses belajar pun lancar. Ada sejumlah langkah yang bisa menjadi jembatan.Pertama, senyumlah. Dengan senyum, memberikan sapaan tulus dan tak seka dar basa-basi, akan membuat seorang guru menjalin hubungan secara dekat de ngan siswa. Sebab, siswa merasa nyaman. Kedua, menunjukkan kecerdasan. Pada saat pertama bertemu dengan siswa di kelas, seorang guru mestinya memberikan kesan cerdas kepada mereka. Tunjuk kanlah kepada mereka bahwa kita adalah guru yang profesional. Kesan cerdas, tentu tak begitu saja terlihat tanpa ada persiapan dan pengua saan materi. Jika kesan ini telah...
Dari : Republika Online (www.republika.co.id)

Jumat, 20 Agustus 2010

Sekolah Ramah Anak

Mengapa kekerasan terhadap anak amat mudah terjadi? Salah satu jawabnya adalah karena banyak orang tidak mengenal dengan baik pengertian/batasan kekerasan terhadap anak.

Bahkan definisi berikut mungkin dipandang mengada-ada oleh sebagian orang. Kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan” (UNICEF, 2002).

Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi dianggap wajar, padahal tindakan itu berupa kekerasan fisik. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, terjadi di mana pun dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Bahkan kekerasan kepada anak sering “dibungkus” dengan alasan budaya. Misalnya, “Anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin karena budaya kita keras.”

Di tengah masih derasnya arus kekerasan seperti itu, diperlukan pendekatan baru, yakni penting menempuh pendekatan kelembutan terhadap anak. Dan salah satu tempat paling besar peluangnya untuk melakukan kelembutan terhadap anak adalah sekolah. Maka, sebaiknya dikembangkan apa yang disebut sekolah ramah anak (SRA). Kunci utama pembuka kemungkinan SRA tentu guru dan jalan menuju SRA yang harus ditempuh guru memang sulit, tetapi dapat dicoba.

Langkah awal

Rudolf Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju SRA, antara lain, pertama, jadilah guru tidak lagi sebagai penguasa kelas/mata pelajaran atau mata pelajaran (mapel), tetapi pembimbing kelas/mapel.

Kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara. Ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti ajakan.

Keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa.

Kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi.

Keenam, jauhkan sikap guru yang ingin “menguasai” siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.

Ketujuh, guru hendaknya menjauhkan diri dari hanya mencari-cari kesalahan siswa, tetapi akuilah prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.

Kedelapan, guru sering berkata, “Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku,” gantilah dengan “Aku anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga.”

Perubahan sikap guru tak akan banyak berarti jika tidak terus dikomunikasikan kepada siswa, kepala sekolah, orangtua siswa, dan pihak lain, seperti polisi.

Peran dan kekerasan

Guru hendaknya memberi tahu (dan mengajak siswa) tentang pentingnya gerakan antikekerasan di sekolah. Sekecil apa pun tindak kekerasan terhadap siswa harus didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Laporan adanya tindak kekerasan juga perlu diakomodasi cepat dan jangan dibiarkan/tertunda sampai hari berikut.

Langkah lebih lanjut yang lebih jitu adalah libatkan siswa menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun siswa, setiap saat. Melibatkan siswa membuat rambu-rambu atau aturan pasti akan membuahkan hal yang amat mengejutkan bagi banyak guru.

Selama ini aturan sekolah disusun hanya oleh sekolah (kepala sekolah dan guru), padahal seharusnya dibuat oleh siswa sendiri berikut sanksinya. Semakin sering sekolah mendatangkan pihak kepolisian pasti berdampak baik karena siswa dapat semakin akrab dengan polisi sehingga berani melaporkan jika terjadi kekerasan apa pun.

Pihak orangtua (komite sekolah) dapat memfasilitasi hal-hal seperti mendatangkan polisi dan mengundang aparat pemerintah setempat untuk memberikan perhatian kepada sekolah.

Singkatnya, SRA amat mudah dan murah dilaksanakan di semua sekolah di mana pun berada, tetapi hasilnya akan amat mengagumkan ketika kita menyaksikan (kelak) tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak oleh siapa pun.

Ditulis oleh:
JC Tukiman Taruna Praktisi Manajemen Berbasis Sekolah; Tinggal di Ungaran, Jawa Tengah
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/29/opini/4015330.htm

CATATAN HARIAN & VLOG SAHABAT RUMAH BELAJAR IBU DEKA ANDRIANI SELAMA SOSIALISASI INOVASI DENGAN MEMANFAATKAN PORTAL RUMAH BELAJAR

Apa kabar sahabat? lama nih nunggu tulisan Sahabat Rumah Belajar-bu Deka. Hee maaf yaah soalnya saya sedang sibuk-sibuknya sosialisasi Porta...